DINAMIKA POLITIK HUKUM LARANGAN EXTRAORDINARY CRIME MENJADI CALON ANGGOTA LEGISLATIF PEMILU 2019			No ratings yet.

DINAMIKA POLITIK HUKUM LARANGAN EXTRAORDINARY CRIME MENJADI CALON ANGGOTA LEGISLATIF PEMILU 2019

Oleh: Ach. Munawar

(Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Pascasarjana UNMA Banten & Praktisi Pemilu)

 

Pendahuluan

Pemilu Tahun 2019 lalu menjadi momentum bagi KPU untuk memperbaiki kualitas system pemilu yang lebih bermartabat, sebagai jawaban atas kegelisahan masyarakat umum. KPU melalui Peraturan KPU  Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Anggota DPR, Anggota DPRD Provinsi, dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota, mencoba melakukan terobosan baru dengan munculnya larangan bagi mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan  korupsi tidak di sertakan  dalam seleksi bakal calon pada pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota oleh partai politik peserta pemilu. Hal tersebut dituangkan dalam norma pasal 4 Perturan aquo.

KPU Pada saat itu berpandangan bahwa bukan sebuah larangan mengatur hal-hal baru dalam peraturan KPU, karena dalam undang-undang masih terdapat kekosongan hukum yang mesti diatur dalam peraturan selanjutnya. Seperti menuangkan norma larangan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan  korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) harus dituangan dalam norma peraturan KPU. Upaya KPU memang beralasan, selain bahwa hal itu untuk memperbaiki kualitas demokrasi juga sebagai mandat (Atribusi) undang-undang yang memberikan kewenangan untuk mengatur hal-hal yang mesti diatur dalam peraturan pelaksanaannya.

Atas norma baru itu menimbulkan pro dan kontra, Bambang Soesantyo (news.detik.com, 2018) yang kala itu sebagai ketua DPR mengatakan “Terlalu berlebihan kalau KPU mengambil keputusan itu. “Nggak perlu lagi kita membangun pencitraan patuhi saja aturan dan serahkan kepada partai dan masyarakat.” Pernyataan Bambang Soesantyo hampir sepemikiran dengan Abhan ketua Bawaslu RI yang menyatakan “mendukung dengan upaya supaya parlemen bersih dari mantan napi, tapi pengaturannya tidak dengan bertabrakan dengan undang-undang.” Bahkan pemerintah (Eksekutif) sendiri beranggapan bahwa hal tersebut merupakan dapat menghilangkan hak politik orang lain. Hal itu diungkapkan oleh yasonna Laoly (nasional.kompas.com, 2018) yang saat itu menjabat menteri Hukum dan HAM “KPU tidak memiliki kewenangan untuk menghilangkan hak politik seseorang selama tidak diatur dalam undang-undang. “Menghilangkan hak orang itu tidak ada kaitannya dengan PKPU, tidak kewenangan KPU. Yang dapat melakukan itu adalah undang-undang dan keputusan hakim.

Dinamika Politik Hukum Larangan Mantan Napi Korupsi Jadi Calon Anggota Legislatif Dalam Peraturan KPU

Dewasa ini tak dapat di pungkiri dalam pembentukan peraturan perundang-undangan tak bisa dihindarkan dari anasir-anasir dialektika dan wacana politik, terlepas apakah dalam perumusannya untuk tujuan mempertegas norma-norma hukum (Positif) agar lebih memiliki “nilai” untuk di ta’ati, ataukah untuk kepentinga “tertentu”, yang jelas bahwa secara ideal setiap produk hukum yang lahir untuk tujuan perbaikan system, dan sebagai bentuk penyesuai terhadap kondisi kepentingan masyarakat secara umum.

Pemilu tahun 2019 lalu, menjadi momentum Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melaksanakan pemilu yang lebih bernilai dan berintegritas, hal itu terlihat dari ikhtiar KPU untuk memasukan larangan mantan nara pidana (napi) korupsi tidak diikut sertakan sebagai bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota pada pemilu 2019, hal itu beralasan karena perbuatan korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime), agar pada saat menyuguhkan calon pada pemilih yang akan memilihnya dalam pemilu diberikan pilihan yang terbak. Maka larangan tersebut perlu di pertegas melalui peraturan KPU.

Upaya yang di tunjukan KPU dilihat sebagai i’tikad baik dan mengambil bagian dari harapan masyarakat dalam pemberantasan korupsi. Adanya pengaturan tersebut sebagai salah satu upaya memotong mata rantai korupsi sebab sebagaian besar palaku korupsi di Indonesia berasal dari mereka yang memiliki kekuasaan (power maker) serta mereka yang berada dalam lingkaran kekuasaan yang secara formal membangun kekuataan oligarki politik mempertahankan status quo. Montesqieu (1993:27) menggambarkan bahwa terhadap orang yang berkuasa ada tiga kecenderungan. Pertama, kecenderungan untuk mempertahankan kekuasaan, kedua, kecenderungan untuk memperbesar kekuasaan. Ketiga, kecenderungan untuk memanfaatkan kekuasaan.

Korupsi tidak lagi dipandang sebagai kejahatan biasa, tetapi telah dipandang sebagai kejahatan luar biasa. Pandangan negara-negara di dunia terhadap korupsi dituangkan dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa, dalam konvensi tersebut, negara-negara di dunia telah meyakini bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dan menjadi fenomena internasional, hal itu tercatat dalam pembukaan United Convention to Against Corruption (UNCAC, 2003); “The States Parties to this Convention, Concerned about the seriousness of problems and threats posed by corruption to the stability and security of societies, undermining the institutions and values of democracy, ethical values and justice and jeopardizing sustainable development and the rule of law”.

Selain hal tersebut dalam konvensi itu, disebutkan bahwa korupsi telah menjadi fenomena internasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan ekonomi sebab korupsi diyakini memiliki hubungan dengan bentuk-bentuk kejahatan lainnya khususnya kejahatan yang terorganisir, kejahatan ekonomi, serta pencucian uang.

Tidak sedikit masyarakat yang mengambil bagian mendorong dan mengapresiasi langkah KPU atas pengaturan larangan mantan napi korupsi dilarang diikutsertakan sebagai calon anggota legislatif, dengan harapan terlaksana pula pemilu yang berkualitas dan berintegritas yang menjadi sarana publik untuk menyeleksi keterwakilan pemimpin di legislatif. Pengamat Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta Ubaidilah (republika.co.id, 2018), ia mengatakan bahwa setidaknya ada 4 (empat) hal kenapa mantan narapidana korupsi tidak patut menjadi calon legislatif, diantaranya pertama mengembalikan marwah DPR, kedua mengikis praktek korupsi sistematik yang kerap terjadi di DPR, ketiga memenuhi keinginan publik, keempat mengutamakan kepentingan rakyat.

Diluar pada niatan tersebut, legislatif maupun pemerinah tidak mampu memainkan peranya dengan baik dalam upaya memutus mata rantai pemberantasan korupsi dalam kontestasi pemilu. Politik hukum yang diperankan oleh legislatif dan pemerintah dalam merumuskan peraturan larangan napi korupsi tidak diikutsertakan sebagai bakal calon anggota legislatif pada pemilu 2019 mencederai harapan publik dengan dalih bertabrakan dengan hak asasi manusia, dan bertentangan dengan undang-undang diatasnya, waalaupun sesungguhnya KPU telah diberikan kewenangan atribusi oleh undang-undang untuk membentuk peraturan dan menjadi kewajibannya untuk melahirkan terobosan hukum yang baik dan ideal.

Pengaturan larangan napi korupsi bukanlah hal baru dalam syarat calon untuk menduduki jabatan penting di pemerintahan, melalui proses Pemilu. Ada ketimpangan dalam undang-undang 7 Tahun 2017 antara pengaturan untuk persyaratan bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota legislatif dengan persyaratan calon Presiden dan Wakil Presiden.

Berdasarkan ketentuan Pasal 240 ayat (1) huruf g undang-undang No. 7 Tahun 2017, untuk persyaratan bakal calon anggota   DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota menyebutkan “tidak pernah dipidana penjara berdaarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan narapidana.” Dalam diksi pasal aquo ada ruang bagi partai politik untuk mengajukan bakal calon anggota legislatif bukan hanya mantan terpidana biasa bahkan memberikan ruang untuk dapat mengajukan bakal calon mantan terpidana yang terbukti secara hukum telah melakukan perbuatan extraordinary crime.  Sementara dalam persyaratan calon Presiden dan Wakil Presiden di Pasal 169 huruf d menyebutkan “tidak pernah menghianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya.”

Bagaimana bisa ada ketimpangan norma hukum untuk calon pemimpin di pemerintahan yang secara yuridis berdasarkan UUD 1945 sama-sama dipilih melalui pemilihan umum, sebagai mandataris rakyat untuk mengemban amanah dan menjalankan kedaulatan rakyat yang memilihnya. Kita dapat sama-sama memaknai pengertian pemilu dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 7 Tahun 2017 yang berbunyi “Pemilihan umum yang selanjutnya disebut pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat, anggota dewan perwakilan daerah, presiden dan wakil presiden, dan untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum bebas, rahasia, jujur dan adil dalam negara kesatuan republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan undang-undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.”

Lantas kenapa ada perbedaan syarat yang timpang pada persoalan mendasar untuk persyaratan calon yang akan menduduki jabatan penting di pemerintahan untuk ikut dalam kontestasi Pemilu. Kenapa tidak diberlakukan norma yang sama, sebagai upaya untuk menjaga marwah legislatif dari pusat sampai daerah diberlakukan pula larangan seperti dalam ketentuan persyaratan calon presiden yaitu “….tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi…” dalam undang-undang Pemilu.

Lebih lanjut kita lihat pasal 6 ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi “calon presiden dan wakil presiden harus seorang warga negara Indonesia asli sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah menghianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden.”, tidak ada diksi bahwa calon presiden dan wakil presiden ialah “….tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi…” lantas apakah Pasal 169 huruf d UU No. 7 Tahun 2017 bertentangan dengan UUD 1945 (lex superior derogat legi imperior).

Dua kekuasaan legislatif dan eksekutif yang sama-sama dipilih melalui pemilihan umum, memiliki peran saling melengkapi yaitu peran pertama legislatif sebagai pembuat undang-undang   dan eksekutif sebagai yang menjalankan undang-undang, peran lainnya ialah yudikatif. Konsep teoritis  pembagian kekuasaan yang didasari atas gagasan Montesquieu dikutip C.S.T. Kansil (2000:77) tersebut dapat dijelaskan, sebagai berikut:

Kekuasaan Legislatif (Legislative Power)

Didalam negara demokrasi yang peraturan perundang-undangan harus berdasarkan kedaulatan rakyat, maka badan perwakilan rakyat yang harus dianggap sebagai badan yang mempunyai kekuasaan tertinggi untuk menyusun undang-undang ialah dinamakan “legislatif. Legislatif ini adalah yang terpenting sekali dalam susunan kenegaraan, karena undang-undang adalah ibarat tiang yang menegakan hidup perumahan negara dan sebagai alat yang menjadi pedoman hidup bagi masyarakat dan negara.

Kekuasaan Eksekutif (Executive Power)

 Kekuasaan menjalankan undang-undang ini dipegang oleh kepala negara. Kepala negara tentu tidak dapat dengan sendirinya menjalankan segala undang-undang ini. Oleh karena itu kekuasaan dari kepala negara dilimpahkannya (didelegasikannya) kepada pejabat-pejabat pemerintah/negara yang bersama-sama merupakan suatu badan pelaksana undang-undang (badan eksekutif) badan inilah yang berkewajiban menjalankan kekuasaan eksekutif.

DPR selaku legislatif, serta pemerintah sebagai eksekutif sebagai mandataris kedaulatan rakyat mesti memiliki komitmen untuk membangun tatanan system hukum yang dikehendaki rakyatnya, bukan atas dasar kepentingan segolongan elit dengan dalih apa pun.

 Kembali kepada pembahasan bagaimana i’tikad KPU melahirkan norma hukum larangan mantan napi korupsi tidak diikut sertakan sebagai caon anggota legislatif. Penulis melihat paling tida ada dua hal pertama mengembalikan marwah legislatif secara kelembagaan, kedua egalitarianisme norma persyaratan calon yang akan menduduki kekuasaan legislatif dengan eksekutif, jadi tidak hanya persyaratan jabatan kekuasaan eksekutif yang dilarang untuk ikut serta dalam kontestasi perebutan kekuasaan, namun juga kekuasaan legislatif mesti demikian.

 Pandangan terhadap bahaya dan nilai moral bagi pelaku korupsi juga disampaikan oleh Muhamad Erwin (2013:94-95) dalam bukunya Filsafat Hukum Refleksi Kritis Terhadap Hukum, menggambarkan bagaimana bentuk pelanggaran nyata sanksi terhadap pelanggaran moral. Koruptor, disandangkan bagi pelaku yang melakukan praktek korupsi. Khalayak mungkin hanya berpendapat dengan sebuah pengertian bahwa bagi mereka layaklah dijatuhi sanksi yang berkadar berat, yakni hukuman yang setinggi-tingginya agar seorang koruptor dikenakan sanksi pidana seumur hidup, dan sanksi keperdataan untuk mengembalikan harta hasil korupsinya, karena telah merugikan lembaga dan perseorangan atau kelompok yang telah dikebiri bagiannya, bahkan pula telah mencemarkan nama korp atau lembaga dimana ia berprofesi. Namun, dapat mengerikan bahwa bukan karena hanya alasan itu saja yang senyatanya perlu menjadi standar atau patokan bagi jatuhnya vonis dengan lebel koruptor, tetapi yang menjadi hakikat adalah awal munculnya gagasan perilaku menyimpang tersebut. Mengapa, karena perilaku korp itu ada dan menjadi preseden yang bernilai buruk bagi keberadaannya. Maksudnya adalah bilamana praktek yang tadinya belum ada, maka tidaklah aka nada pula nilai/label koruptor bagi para pelaku yang berprilaku demikian. Namun karena gagasan prilaku ini diadakan, maka prilaku ini akan tetap terus ada, karena “sekali ada, maka tetaplah ada”, yang berarti sanksi berat atas penyimpangan moral yang terwujud dalam sebuah prilaku korup tetap akan bernilai lestari, karena berada pada wilayah moral yang berbentuk gagasan. Maka sangksi yang dibuat atas penyimpangan moral itu hanya bernilai sebagai penawar yang tidak sanggup dimatikan karena telah dihidupkan, kecuali seluruh yang hidup itu telah mati pula.

 Pro-Kontra lahirnya norma larangan mantan napi korupsi disertakan sebagai calon anggota legislatif pada pemilu tahun 2019 dengan dituangkannya pada pasal 4 ayat (3) Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018, merupakan sebuah ijtihad dari politik hukum yang secara sadar ditempuh sebagai upaya perbaikan system pemilu dan demokrasi, dan merupakan terobosan hukum yang dapat memberikan perlindungan secara universal. Kewenangan (atribusi) yang diberikan dalam undang-undang, bagaimana KPU membentuk pengaturan teknis sebagai norma hukum yang berlaku di wilayah hukum pemilu, serta sebagai upaya membangun perkembangan hukum dan itu merupakan sebuah kehendak.

 Teuku Mohammad Radhi dalam Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari (2008:27) mendefinisikan “politik hukum sebagi suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.” Pernyataan  hukum yang berlaku diwilayahnya mengandung pengertian hukum yang berlaku pada saat ini (ius constitutum) dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun mengandung pengertian hukum yang berlaku dimasa datang (ius constituendum).

 Sementara, Soedarto dalam Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari (2008:27), menjelaskan bahwa politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendakinya, yang diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Soedarto juga memaknai politik hukum  adalah “usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.”

 Dari konsepsi teoritis diatas bahwa dapat digambarkan, tidak salah jika KPU memiliki kehendak melakukan ijtihad perbaikan system dalam proses pemilu, untuk tujuan yang baik atas suatu keadaan yang diperlukan pada masa itu.

 
Pasca Judisial Review MA Atas Larangan Napi Eks Koruptor Ikut Serta Dalam Pemilu

 Dinamisnya norma larangan napi korupsi menjadi bagian dari norma hukum dalam Peraturan KPU. Pemerintah dan DPR serta para akademisi dan lembaga-lembaga yang konsen terhadap perbaikan system pemilu, menimbulkan pro dan kontra tidak selesai sampai pada saat norma itu ditetapkan dalam peraturan KPU dan di lembar negarakan. Namun pasca berlakunya semakin menimbulkan dinamika yang dinamis. Peraturan KPU  Nomor 20 Tahun 2018, yang terdapat didalamnya norma larangan partai politik tidak menyertakan mantan terpidana korupsi.

Pasal 4 ayat (3) “dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.”

Pihak yang tidak puas melakukan Judicial Review ke Mahkamah Agung. Salah satunya adalah Wa Ode Nurhayati yang memberi kuasa kepada Andri Darmawan, S.H., M.H., dan Jushriman, S.H. yang pada pokoknya melalui putusan Mahkamah Agung Nomor 55/P/Hum/2018 Mahkamah Agung memutuskan membatalkan pasal 4 ayat (3) dan pasal 7 huruf g Pertaturan KPU 20 Tahun 2018.

 Namun demikian, untuk mendapat pemahaman yang jelas mengenai Peraturan KPU dalam hierarki perundang-undangan, kita dapat melihat ulasan yang ditulis oleh Tri Jata Ayu Pramesti SH dalam situs hukumonline.com (Mei 2015):

Peraturan KPU itu sendiri merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan, yakni peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Demikian yang disebut dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

 Selain itu, peraturan yang dikeluarkan oleh suatu lembaga atau komisi secara tegas juga disebut sebagai peraturan perundang-undangan yang diakui Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011:

 Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) yang mencakup peraturan perundang-undangan terdapat dalam pasal 8 UU PPP yaitu yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Setelah ditetapkannya Putusan Mahkamah Agung Nomor 55/P/Hum/2018 memutuskan membatalkan pasal 4 ayat (3) dan Pasal 7 huruf g PKPU 20 Tahun 2018, atas Judicial Review Wa Ode Nurhayati. Kembali memberi ruang untuk partai politik mendaftarkan calon anggota legislatif mantan napi korupsi yang untuk turut serta dalam Pemilu 2019.

 KPU dari pusat sampai daerah yang telah membatalkan bakal calon anggota legislatif berlatarbelakang mantan narapidana korupsi, mesti mengembalikan dan menetapkan menjadi calon legislatif dan ikut serta dalam Pemilu 2019. Walau pun sebetulnya, sebelum putusan Mahkamah Agung ditetapkan, bawaslu dari pusat sampai daerah telah mengabulkan permohonan yang melakukan permohonan sengketa pemilu atas dibatalkannya mantan napi korupsi yang di batalkan oleh KPU, jika terdapat atas hal itu.

 Calon anggota legislatif Pemilu 2019, yang mengikuti kontestasi untuk mantan napi korupsi diketahui ada 81 calon anggota legislatif yang diantaranya 23 calon angota legislatif eks koruptor didaftarkan untuk DPRD Provinsi, 49 Calon anggota legislatif eks koruptor untuk DPRD Kabupaten/Kota, dan 9 merupakan Calon anggota legislatif untuk DPD, dan tidak ada untuk calon anggota legislatif tingkat DPR RI. (nasional.kompas.com, 2019).

Kewenangan KPU Dalam Pembentukan Peraturan dan Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia

 Diungkapkan Josef M. Monteiro (2014:150-151) Pasca Repormasi UUD 1945 di amandemen, diantara beberapa pasal salah satunya adanya penambahan pasal 22E UUD 1945. Dalam konsep yuridis tersebut, Pemilihan umum (Pemilu) diselenggarakan oleh suatu komisi yang disebut komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang merupakan lembaga penyelenggara pemilu diberikan tugas dan kewenangan yang diatur oleh undang-undang. Lembaga yang mandiri didirikan setelah masa reformasi merupakan komisi negara yang bersifat independen. Ketentuan dalam konstitusi tersebut menyatakan sebagai berikut: Menurut Firmansyah Arifin terdapat beberapa hal yang menjadi inti dan memengaruhi pembentukan lembaga negara seperti komisi negara yang bersifat independen, dan lain sebagainya, yakni:

  1. Tiadanya kredibilitas lembaga-lembaga negara yang telah ada akibat asumsi adanya korupsi yang sistematik, mengakar, dan sulit untuk diberantas.
  2. Tidak independenya lembaga-lembaga negara yang ada karena satu sama lain hanya tunduk di bawah pengaruh satu kekuasaan negara atau kekuasaan lainnya.
  3. Ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang ada untuk melakukan tugas-tugas yang urgen dilakuakn dalam masa transisi demokrasi karena persoalan birokrasi dan KKN.
  4. Pengaruh global, dengan pembentukan apa yang dinamakan auxiliary organ state agency atau watchdog institution di banyak negara.
  5. Tekanan lembaga-lembaga internasional, tidak hanya sebagai persyaratan untuk memasuki pasar global, tetapi juga untuk membuat demokrasi sebagai satu-satunya jalan bagi negara yang asal-nya berada di bawah kekuasaan otoriter.

Jimly Asshiddiqie dikutip Zaenal Arifin Mochtar (2016:7), menggambarkan berkembangnya begitu banyak lembaga negara yang bersifat independen, sesungguhnya mencerminkan adanya kebutuhan untuk mendekonsentrasikan kekuasaan dari tangan birokrasi atau organ-organ konvensional pemerintahan, tempat kekuasaan selama masa-masa sebelumnya terkonsentrasi. Hal ini terjadi akibat dari tuntutan perkembangan pengelolaan kekuasaan negara yang semakin kompleks dan rumit, sementara organisasi kekuasaan yang birokratis, sentralitis dan terkonsentrasi tidak dapat diandalkan. Oleh karena itu, pada waktu yang hampir bersamaan muncul gelombang deregulasi, debirokratisasi, privatisasi, desentralisasi, dan dekonsentrasi.

Problematika yang sering kali dihadapi oleh negara-negara yang membentuk lembaga-lembaga ekstra adalah persoalan mekanisme akuntabilitas, kedudukannya dalam struktur ketatanegaraan, dan pola hubungan kerjanya dengan kekuasaan pemerintah, kekuasaan membuat undang-undang, dan kekuasaan kehakiman. Hal ini tidak terlepas dari pergulatan politik yang terjadi antara kekuatan politik pemerintah dan parlemen saat keduanya memperebutkan pengaruh dari rakyat dalam pengelolaan negara. Kekuatan politik pemerintah di parlemen, inilah yang mengakibatkan persaingan di antara keduanya tidak terelakkan.

Tantangan kemandirian KPU yang diberi amanah berdasarkan konstitusi sudah selayaknya memiliki posisi yang kuat dan independen baik dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangannya dalam menyelenggarakan pemilihan umum maupun dalam membentuk kebijakan sesuai pelaksanaan kewenangannya tersebut. Akan tetapi sebagai negara hukum dimana paham positivisme hukum tumbuh kuat dan mengakar dalam pemahaman bahwa hukum secara tegas dipisahkan dari moral, keadilan, dan tidak didasarkan atas pertimbangan atau penilain baik-buruk. Hukum merupakan apa yang tertulis dalam berbagai peraturan yang ada. Karena yang dipersoalkan bukanlah bagaimana hukumnya itu seharusnya melainkan apa hukumnya.

Hukum Indonesia yang menganut system hukum eropa kontinental pada umumnya bersifat normatif, segala tindakan yang hendak dilakukan harus didasarkan pada aturan tertulis dan kelaziman atau prinsip yang berlaku universal. Peraturan KPU yang dibentuk oleh KPU terkait larangan mantan terpidana korupsi untuk tidak disertakan dalam pencalonan anggota legislatif meskipun memiliki tujuan yang baik dan oleh banyak pihak sudah seharusnya dilakukan, serta bagian dari terobosan hukum untuk perbaikan sistem.

Akan tetapi berdasarkan tinjauan yuridis formal menjadi delematis, UU Pemilu keikutsertaan mantan terpidana korupsi masih diperbolehkan apalagi dikuatkan juga yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung atas judisial review mantan terpidana korupsi yang dibatalkan oleh KPU Pusat sampai daerah. Dalam hierarki peraturan perundang-undangan peraturan KPU memiliki hierarki yang lebih rendah dari UU terkait yaitu, UU Pemilu. Sehingga substansi dari rancangan peraturan tersebut tidak boleh bertentangan dengan UU Pemilu.

Melihat persyaratan yang diatur dalam UU Pemilu terhadap Capres dan Cawapres yang dapat dikatakan memiliki perlakuan yang berbeda dengan persyaratan calon anggota legislatif dalam hal dapat tidaknya mantan terpidana korupsi untuk menduduki jabatan tersebut tidak terlepas dari pengaruh dinamika politik dalam pembahasan dan pembentukan UU tersebut. Menurut Mahfud MD (2006:8-9), kegiatan legislatif (pembuatan UU) dalam kenyataannya memang lebih banyak membuat keputusan-keputusan politik dibandingkan dengan menjalankan hukum yang sesungguhnya, lebih-lebih jika pekerjaan hukum itu dikaitkan dengan masalah prosedur. Tampak jelas bahwa lembaga legislatif (yang menetapkan produk hukum) sebenarnya lebih dekat dengan politik daripada dengan hukum itu sendiri.

Seyogyanya jika UU pemilu masih memperbolehkan keikutsertaan mantan terpidana korupsi dalam pemilu legislatif maka seharusnya UU Pemilu juga tidak memberi batasan dalam persyaratan bagi Capres dan Cawapres mantan terpidana korupsi untuk ikut serta dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Akan tetapi hal tersebut merupakan hal yang telah diatur oleh undang-undang dan harus dilaksanakan sebagai hukum yang sudah ditetapkan. Jika terdapat hal yang dianggap bertentangan dengan peraturan diatasnya (UUD 1945) maka dapat diuji materil di Mahkamah Konstitusi atau melalui revisi UU Pemilu tersebut. Masalah substansi rancangan PKPU yang menimbulkan polemik tersebut sebaiknya diuji melalui Pengadilan setelah diundangkan yaitu, Mahkamah Agung yang berwenang dalam menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang.

Kesimpulan

Korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime), sehingga KPU mencoba turut andil memperbaiki dan menjaga marwah lembaga legislatif, mencegah dari awal masuknya orang-orang yang secara hukum kurang pantas menduduki jabatan publik (Legislatif) ikut serta dalam kontestasi pemilu. Masuknya norma tersebut dalam Peraturan KPU sebenarnya dapat diartikan sebagai upaya KPU melakukan terobosan hukum, serta mengambil-bagian dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang jelas memiliki dampak buruk bagi sistem pemerintahan dan masyarakat dengan regulasi berupa larangan bagi ex-koruptor mencalonan diri dalam pemilu legislatif.

Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 yang memuat ketentuan larangan bagi mantan terpidana tindak pidana tertentu termasuk korupsi untuk ikut serta dalam pemilu legislatif, dipandang sebagai norma yang inkonstitusional. Sehingga bawaslu mengimplemantasikannya berbeda terbukti dengan meloloskannya mantan napi korupsi menjadi calon anggota legislatif pada pemilu 2019 melalui putusan gugatan perselisihan pemilu di beberapa daerah. Bersamaan dengan itu pula lahirnya Yurisprudensi Mahkamah Agung yang membatalkan pasal 4 ayat (3) Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018. System hukum eropa kontinental pada umumnya bersifat normatif, hanya melihat yang tertulis sehingga terkadang mengesampingkan nilai moral dan etika hukum itu sendiri.

 

Refferensi

Buku

 Montesquie, 1993, Membatasi Kekuasaan: Tela’ah Mengenai Jiwa Undang-undang, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka

Kansil, C.S.T, 2000, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Jakarta, PT Asdi Mahasatya, (edisi revisi)

Erwin, Muhammad, 2013, Filsafat Hukum Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada

Syaukani, Imam dan A. Ahsin Thohari, 2008, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada

M. Monteiro, Josef, 2014, Lembaga-Lembaga Negara Setelah Amandemen UUD 1945, Yogyakarta, Pustaka        Yusitisia

Arifin Mochtar, Zaenal, 2016, Lembaga Negara Independen Dinamika Perkembangan dan Urgensi Penataanya Kembali Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta, Rajawali Pers

Mahfud MD, Moh, 2006, Politik Hukum Indonesia, Jakarta, Pustaka LP3ES Indonesia

 

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesai Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234)

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109)

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Anggota DPR, Anggota DPRD Provinsi, dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2018, Nomor 834)

 

Internet:

https://nasional.kompas.com/read/2018/04/16/15463651/kejahatan-luar-biasa-alasan-kpu-larang-mantan-napi-korupsi-ikut-pileg?page=all diakses 4 Oktober 2021

https://news.detik.com/berita/d-4094865/pro-kontra-larangan-nyaleg-untuk-eks-koruptor diakses 4 Oktober 2021

https://nasional.kompas.com/read/2018/06/05/10150891/langkah-kpu-larang-mantan-napi-korupsi-jadi-caleg-terganjal-pemerintah?page=all diakses 4 Oktober 2021

https://nasional.kompas.com/read/2018/05/25/12530161/kpk-dukung-kpu-larang-mantan-napi-korupsi-ikut-pileg-2019 diakses 4 Oktober 2021

https://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/18/05/29/p9ghcs354-pengamat-ada-empat-alasan-mantan-koruptor-dilarang-nyaleg diakses 4 Oktober 2021

https://nasional.kompas.com/read/2019/02/19/15075331/daftar-lengkap-81-caleg-eks-koruptor?page=all diakses 4 Oktober 2021

https://nasional.kompas.com/read/2018/04/16/15463651/kejahatan-luar-biasa-alasan-kpu-larang-mantan-napi-korupsi-ikut-pileg?page=all diakses 5 Oktober 2021

https://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/18/05/29/p9ghcs354-pengamat-ada-empat-alasan-mantan-koruptor-dilarang-nyaleg diakses 5 Oktober 2021

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt552a59833c9f1/perbedaan-peraturan-dan-keputusan-kpu diakses 5 Oktober 2021

https://nasional.kompas.com/read/2019/02/19/15075331/daftar-lengkap-81-caleg-eks-koruptor?page=all diakses 5 Oktober 2021

http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/658-dinamika-lembaga-lembaga-negara-mandiri-di-indonesia-pasca-perubahan-undang-undang-dasar-1945 diakses tanggal 6 Oktober 2021

https://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/18/06/06/p9w8a3430-mendagrimenkumham-kompak-tolak-pkpu-soal-mantan-koruptor diakses tanggal 6 Oktober 2021