“KEKELIRUAN JEBAKAN DEMOKRASI”
Oleh: A. Munawar
Demokrasi di Indonesia
Sejak kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia telah mengadopsi demokrasi. Tetapi apa yang berlaku adalah semacam “quasi demokrasi”, yang disebut “demokrasi terpimpin” pada masa presiden soekarno dan “demokrasi Pancasila” sepanjang masa presiden soeharto. Karena itu, warga Indonesia memiliki pengetahuan dan pengalaman yang terbatas mengenai demokrasi yang genuine dan otentik. Pengalaman uji coba demokrasi di Indonesia, mulai dari demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin ala soekarno, hingga demokrasi pancasila ala soeharto.
Itulah sebabnya dalam pengalaman Indonesia ber-demokrasi pada masa reformasi, muncul berbagai tanda yang seolah-olah mencerminkan breakdown of democracy”. Bahkan terdapat kalangan masyarakat yang menganggap, yang berkembang bukanlah demokrasi, tetapi “demo-crazy” alias demokrasi kebablasan yang sering berujung dengan konflik, kekerasan, dan anarki. Karena itulah “mengetahui” dan “mengalami” demokrasi yang sesungguhnya menjadi sangat penting; agar ekses-ekses yang mengakibatkan “breakdown of democracy”. Dapat di cegah.
Tentunya kita juga tak ingin demokrasi ini dicederai oleh konflik karena ketidak puasan dalam penyelenggaraan demokrasi (Pemilu). Seperti konflik yang terjadi dibeberapa daerah lain. Yang pada akhirnya masyarakat lah yang dirugikan, kita juga tidak ingin masyarakat yang menjadi korban karena terjadinya perkelahian, perang tanding antara kubu pendukung. Sang aktor politik tentunya harus lebih memberi pemahaman tentang esensi demokrasi, kedewasaan berpolitik dan tujuan awal sang aktor politik dalam berdemokrasi seperti dalam momen pemilu kepala daerah.
Kesesuaian Islam dalam Demokrasi
Kesesuaian atau ketidak sesuaian Islam dengan demokrasi memang mencuat kembali pasca soeharto, di Indonesia yang sedang berada dalam masa transisi menuju demokrasi. Mengutip William Liddle dan Saiful Mujani (2000), salah satu di antara kecenderungan yang sangat menonjol dalam masa pasca-Perang Dingin yang kini beranjak ke millennium baru adalah meningkat cepat pertumbuhan demokrasi di berbagai penjuru dunia. Atau, setidaknya jumlah Negara yang menjadi semakin demokratis, termasuk Indonesia selama lebih dari 30 tahun. Tetapi, dalam pandangan lain kecenderungan menjadi lebih demokratis itu kelihatanya tidak berlangsung secara meyakinkan di banyak Negara Muslim, bahkan juga termasuk Indonesia.
Pembahasan apapun tentang politik Islam – atau politik Muslim – seyogyanya menghindari kesimpulan yang bersumber dari sweeping generalization. Hal ini penting karena politik Islam/Muslim, termasuk di Indonesia, sangat kompleks dan rumit. Sebab kenyataannya, Islam sebagai sebuah realitas politik sebagaimana dimamnifestasikan orang-orang Muslim jelas bukanlah fenomena tunggal atau monolitik.
Mengutip kalimat Dale Eickelman dan ilmuan politik James Piscatori dalam karyanya Muslim Politics (1996). Keduanya menympulkan, gambaran politik Islam/Muslim di seluruh dunia dewasa ini adalah pertarungan terhadap “penafsiran makna-makna Islam dan penguasaan atas lembaga-lembaga poliltik formal dan informal yang mendukung pemaknaan Islam tersebut”. Pertarungan seperti ini melibatkan “objektivikasi” pengetahuan tentang Islam yang pada giliranya memunculkan pluralisasi kekuasaan keagamaan. Berdasarkan kerangka itu Robert Hefner, berargumen bahwa tidak ada politik Islam/Muslim yang tunggal sehingga memunculkan pola yang mencakup seluruh peradaban Islam (Civilization-wide pattern of Muslim politics). Sebaliknya yang ada hanyalah sejumlah organisasi dan cita-cita politik Islam/Muslim yang tidak jarang terlibat dalam kompetisi yang tajam diantara mereka. Hefner menyimpulkan, pembentukan Negara modern dan globalisasi ekonomi sekarang ini bahkan semakin pluralisme dan pertarungan politik di dunia Muslim. Hasilnya, “pembenturan budaya” (clash of cultures) sangat signifikan yang terjadi dewasa ini dan dalam millennium baru bukanlah diantara peradaban-peradaban yang berbeda, melainkan di antara tradisi-tradisi politik yang bersaing di dalam satu Negara Muslim tertentu.
Maka memang naïf untuk bersikap pesimis tentang masa depan demokrasi Indonesia. Bahkan sebaliknya, meski terdapat perbedaan-perbedaan tajam dan pertarungan yang semakin intens di antara kalangan kaum Muslim Indonesia, keseimbangan kekuatan-kekuatan di Negri tetap mendorong perkembangan civil Islam yang demokratis. Khususnya di Banten yang nota bene berpenduduk Islam, hingga Banten mendapat julukan “kota santri, sejuta ulama” . artinya dalam berdemokrasi pun harus lebih Agamis. Dimana hukum progresif harus dikedepankan dalam berdemokrasi karena hal ini lebih berkaitan dengan moral, etika dan estetika. Sehingga meminimalisir pelanggaran konstitusi dalam Negara hukum.
Esensi Demokrasi
Demokrsai tentu masih didengungkan dalam wacana tiap hari, terutama dalam forum-forum bublik yang formal. “Kebhinekaan” sebagai salah satu esensi demokrasi pun masih tetap dielu-elukan dalam setiap ritual politik dan wacana formal. Namun makna mereka telah sangat berbeda bahkan berlawanan. Tak jauh bedanya dengan berbagai penghalusan (euphemism) yang sering dipergunakan dalam hidup keseharian seperti “diamankan”, “disesuaikan”, ”kebijaksanaan”, dll
Dalam sebuah panggung perpolitikan yang didominasi oleh newspeak (wacana baru) semacam itu, kemajemukan hanya diakui dan dilegtimasikan sejauh ia berada dalam pengawasan atau kontrol Negara atau aparat Negara. Kemajemukan yang semula adalah asset sebuah perpolitikan demokrasi kemudian dimaknai sebagai sebuah liability yang harus dihindari. Maka diciptakanlah sebuah tandingan baru yaitu wacana tentang “kesatuan” itulah wacana yang praksis yang dianggap memberi peluang kepada kemajemukan akan dicoba dibatasi, dicurigai dan bahkan kalau perlu dianggap lawan. Ia akan dengan mudah dicap sebagai bibit dari integrasi, sumber konflik dan mengembangkannya akan membawa ke arah sikap subversi. Kesatuan, sebaliknya, adalah keutamaan (virtue) yang tidak dapat diganggu gugat, apalagi dikeritisi. Sebab ia mengacu kepada sebuah gagasan millenarian semacam “manunggaling kaulo lan Gusti” kesatuan antara “rakyat” dan “penguasa” dan utopia Negara integralistik. Selain dari ke-binekaan diatas esensi demokrsai merupakan terciptanya kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat keseluruhan serta tidak adanya kesenjangan sosial.
#Pernah dimuat di media cetak Kabar Banten, November 2012
Penulis adalah Anggota KPU Pandeglang