POLITIK KUTU LONCAT
Oleh: A. Munawar, S.H.
Dalam Negara demokrasi, pemilu merupakan salah satu perwujudan yang mesti dilalui untuk meraih kekuasaan dan jabatan politik di pemerintahan. Pemilu adalah arena kompetisi untuk mengisi jabatan-jabatan politik di pemerintahan yang didasarkan pada pilihan formal dari warga negara yang memenuhi syarat. Dalam undang-undang Pemilu, bahwa Peserta pemilu dapat berupa perseorangan (DPD) dan partai politik. Partai politik mengusulkan kandidat kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU/KPUD), untuk kemudian di suguhkan dan dipilih oleh rakyat (pemilih).
Pemilu merupakan sebuah perebutan kekuasaan kursi “panas” wakil rakyat. Semua tokok-tokoh politik siap berlaga untuk memenangkan kontestasi dalam pemilu, mulai dari mempersiapkan partai, jaringan, mendongkrak popularitas, finansial dan lainnya. Ada fenomena yang dilematis yang terjadi saat momentum pemilu tiba, dimana para elit-elit politik mulai memunculkan hasrat politiknya untuk dapat meraih simpati dan berkuasa di negeri ini, konflik internal partai-partai seolah tak bisa dielakan, saling ‘gesek, sikut’ antar elit partai. Hingga tak sedikit kader-kader partai yang memilih keluar dan mencari partai lain yang dianggap lebih sejalan dan nyaman dengan dirinya atau bisa jadi adanya konsensus.
Meminjam istilah, Hamdi Muluk (Pakar Psikologi Politik Universitas Indonesia) menyebutkan perpindahan kader partai ke partai lainnya disebabkan sistem partai yang tidak stabil. “Karena banyak partai serta ideologi dan platform yang tidak jelas”, Ia menambahkan, dalam konteks partai politik Indonesia, justru perpindahan aktivis partai terjadi di partai-partai besar. “Karena faktanya partai besar itu sejatinya lemah,” fenomena kutu loncat di negara lainnya justru terjadi di partai tengah ke bawah.
Kita bisa menyaksikan secara bersama-sama bagaimana para elit-elit politik ternyata dalam setiap akan menghadapi momentum pemilu ada beberapa yang berpindah haluan partai dan penomena tersebut seolah sudah menjadi hal yang biasa. Keadaan demikian tentulah tidak aneh, seiring dengan dinamisasi masing-masing partai dan mungkin saja diakibatkan karena visi misi partai yang dianggap tidak lagi relevan dengan tujuan dari individu-individu elit didalamnya. Ada beberapa faktor penyebab terjadinya ‘politik kutu loncat’ atau inkonsistensi kader-kader partai, bisa jadi lemahnya menejemen system kepartaian, tidak berjalannya kaderisasi yang sustainable serta beberapa faktor lain seiring dinamisasi di masing-masing organisasi partainya.
Penulis sependapat dengan Ari Dwipayana, pengajar Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, sebagian besar partai politik di Indonesia saat ini tidak memiliki sistem keanggotaan, kaderisasi, dan mekanisme perekrutan yang terlembaga. Siapa saja yang menjadi anggota partai tidak jelas, sehingga sistem pengkaderan tidak dapat berjalan dengan baik. Adanya sistem rekrutmen yang catch-all system menjadikan praktik kutu loncat bertambah subur. (Kompas, 28/7/2012). Bukan hanya itu, bahwa dimungkinkan terjadinya ‘politik kutu loncat’ disebabkan juga adanya hasrat politik yang tidak tersalurkan di partai di mana ia berada atau faktor lain seperi chemistry yang tidak terbangung, selain itu mungkin juga adanya pertentangan antara kader partai atau biasa juga diakibatkan terjadinya konflik internal atau hal lain seperti menganggap ia akan lebih mudah meraih kekuasaan/jabatan politik jika berpindah partai dan faktor-faktor lainnya.
Bahwa dalam sistem kepartaian di indonesia, sesuai dengan undang-undang nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik, pasal 1. Bahwa setiap partai-partai politik memiliki cita-cita yang luhur, yaitu untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan NKRI. Berdasar pada pancasila dan UUD 1945, serta memberikan pendidikan politik. Tujuan yang mesti menjadi landasan utama setiap organisasi partai sesuai amanat undang-undang itu lah semsetinya yang di tanamkan pada setiap jati diri kader. Selain itu tentunya partai-partai politik memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yg sistematik dan tersetruktur dan dapat di jalankan sesuai kaidah kepartaian. Sehingga fokus utamanya ialah tujuan yang sesuai cita-cita Negara-Bangsa, tidak hanya mempertontonkan dinamika elit yang seolah tak berkesudahan.
Namun hampir rata-rata partai politik di indonesia masih minim dalam melakukan pendidikan dan rekrutmen anggota-anggota partainya, selain memang tidak banyak mayarakat yang berminat menjadi anggota partai. Dampak dari lemahnya sistem di intetnal partai akan berpengaruh pada kurangnya loyal dan idealisme yang lemah sehingga peluang anggota-anggotanya yang telah duduk dalam jabatan di pemerintahan berpindah mencari haluan baru ketika tidak lagi sejalan.
Lihat saja penomena yang muncul saat ini, misalnya saja tiba-tiba artis jadi politisi hanya karena dianggap memiliki populeritas, pengusaha yang dianggap memiliki modal tanpa melalui proses kaderisasi bisa dengan mudah masuk dan menempati posisi strategis dalam organisasi partai. Seolah proses kaderisasi dalam partai tidak lagi dianggap pentingg karena siapa pun dapat dengan mudahnya masuk dan mencalonkan diri asal punya modal dan banyak relasi. Hingga tidak menjamin hal demikin bisa mencetak kader-kader partai yang memiliki idealisme, loyalitas, komitmen serta konsisten terhadap partai dalam kondisi apa pun. Pada akhirnya muncul asumsi, partai politik yang sejatinya dapat menjadi perantara kepentingan masyarakat jadi absurd, karesna mengurusi internal partainya sendiri kewalahan.
Tatanan politik dalam sitem kepartaian menjadi sangat penting, dimana figur-figur kader organisasi partai akan sangat mempengaruhi untuk membangun citra per politikan di mata masyarakat serta menumbuhkan trush publik. Konsistensi tujuan partai untuk membangun negara bangsa yang lebih baik termanifestasikan oleh konsistrnsi kader-kader yang memiliki komitmen kebangsaan. (***)
Penulis adalah Anggota KPU Kabupaten Pandeglang.