PANDEGLANG, (1/7/2023) ruangpottlot.com – Musibah yang menimpa korban pada kasus penyebaran video seksual merupakan sebuah tragedi yang memilukan terhadap korban. Disisi lain kasus ini merupakan sebuah preseden paling buruk bagi penegakan hukum dalam melaksanakan kepastian dan keadilan hukum.
Istilah “No Viral No Justice” seakan menjadi bagian yang terpenting dalam mengawal hingga mengungkap pelaku, hingga pada akhirnya sampai pada vonis terdakwa di pengadilan.
Walaupun harapan besar keluarga, pihak yang ikut serta mengawal, hingga publik khususnya pengguna media sosial yang ikut mem”viralkan” dan mengikuti rangkaian kasus tersebut menginginkan supaya pelaku/terdakwa dapat di jerat dengan UU TPKS. Namun apalah daya UU TPKS yang seharusnya menjadi sebuah instrumen untuk menjerat terdakwa tersebut tidak di gunakan dalam perkara ini. Padahal jika di runtut secara kronologis yang berdasarkan kepada pengakuan korban yang di wakili oleh keluarga sudah jelas adanya sebuah “Eksploitasi Seksual” sekaligus “Perbudakan Seksual” yang di lakukan oleh pelaku yang telah berjalan sejak 3 (tiga) tahun yang lalu (berdasarkan penuturan pengakuan keluarga korban).
Dan yang lebih mencengangkan muncul sebuah dugaan bahwa pelaku atau keluarga pelaku merupakan orang yang mempunyai “Relasi Kuasa” yang secara langsung mempunyai kedekatan dengan bagian kekuasaan, entah dengan kekuasaan yang mana hal tersebut masih menjadi teka-teki dan menyisakan tanda tanya besar di kalangan masyarakat sampai dengan hari ini.
Mengenal istilah “Relasi Kuasa”
Menurut Michel Foucalt kekuasaan tidak dipahami sebagai sebuah kepemilikan layaknya properti atau posisi, melainkan dipahami sebagai sebuah strategi dalam masyarakat yang melibatkan relasi-relasi yang beragam.
Kekuasaan tidak berpusat pada satu subjek atau lembaga, melainkan tersebar dimana-mana dalam setiap relasi sosial.
Dalam masyarakat modern, bentuk kekuasaan bukanlah sovereign power melainkan disciplinary power. Disciplinary power bukan konsep kekuasaan berdasarkan otoritas untuk melakukan penghukuman dan kontrol secara represif seperti dalam sovereign power, melainkan bekerja untuk menormalisasi kelakuan di berbagai relasi sosial.
adi dengan kata lain jika kita mencoba mencermati dan menganalisa bagaimana hubungan Relasi Kuasa dibalik Revange Porn dan mengacu pada pengertian Relasi Kuasa yang berdasarkan pemikiran Foucalt terdapat korelasi bahwa keluarga pelaku atau pelaku sekalipun merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kekuasaan itu sendiri. Relasi Kuasa ataupun relasi sosial yang di miliki oleh keluarga pelaku ataupun pelaku menjadi sebuah akses yang secara otoritatif yang dapat di gunakan untuk dapat melakukan pengendalian baik secara status sosial, ekonomi, maupun hukum. Dengan demikian hal ini menjadi keuntungan tersendiri bagi pelaku dengan memanfaatkan sumberdaya yang di milikinya untuk melakukan “counter” daripada pendukung korban.
Jika memang betul “Relasi Kuasa” menjadi sebuah faktor yang mempengaruhi, dan mendominasi proses hukum yang berjalan ini menjadi sebuah bencana sosial yang sengaja dilakukan secara terang-terangan dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kewenangan, kekuatan kekuasaan untuk melakukan apapun terle ih sikap represif terhadap masyarakat biasa.
Kekuasaan yang seharusnya digunakan untuk bagaimana malayani terhadap masyarakat malah di manfaatkan oleh orang-orang tertentu saja yang dengan sengaja menggunakan cara-cara tertentu agar berjalannya sebuah kekuasaan berdasarkan kehendak diri sendiri, golongan, maupun kelompoknya saja.
Bagi saya kasus Revange Porn ini harus menjadi perhatian semua pihak karena ini buka sekedar perkara antara Korban dan Pelaku saja, namun jauh daripada itu, kasus ini menjadi sebuah refleksi kepada seluruh masyarakat agar senantiasa berani dalam melawan, setiap bentuk kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh personal maupun oleh lembaga negara.
(Oleh: Maulana Yusuf Amrullah Sekretaris DPC GMNI Pandeglang)
(red/adm)